Mendunia Lewat Rasa: Indonesian Street Food Festival di Melbourne Gaungkan Cita Rasa Nusantara
Wisataprime.com - Di jantung kota Melbourne, aroma harum rempah-rempah Indonesia mengepul dari deretan gerai makanan yang meriah. Bukan sekadar pameran kuliner biasa, Indonesian Street Food Festival yang digelar pada 16-17 Maret 2024 di Queen Victoria Market menjadi panggung global yang merayakan keragaman dan kekayaan rasa Nusantara. Festival ini menjadi bukti konkret bahwa diplomasi budaya tak melulu soal seni dan pertunjukan, tetapi juga bisa dijalankan lewat makanan jalanan yang akrab dengan keseharian masyarakat Indonesia.
Acara ini diinisiasi oleh Indonesian Culinary Association of Victoria (ICAV) dan mendapat dukungan penuh dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Tak hanya itu, festival ini juga menjadi bagian dari rangkaian Melbourne Food and Wine Festival 2024—sebuah kolaborasi strategis yang mempertemukan dua budaya melalui makanan.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno, hadir langsung dalam pertemuan dengan ICAV. Ia menyebut bahwa gelaran ini sejalan dengan misi besar pemerintah, yaitu program "Indonesia Spice Up The World", yang mendorong ekspansi bumbu dan produk olahan Indonesia di pasar global. Street food yang dianggap sebagai warisan kuliner paling otentik pun diangkat ke panggung internasional.
Selama dua hari penuh, pengunjung dari berbagai latar belakang budaya dan negara memadati area festival. Mereka disuguhi sajian khas seperti soto betawi, rendang, nasi goreng kampung, sate ayam, martabak manis, hingga jajanan pasar seperti klepon dan onde-onde. Tak hanya mencicipi makanan, pengunjung juga diajak mengenal cerita dan filosofi di balik tiap sajian melalui interaksi langsung dengan vendor dan papan informasi visual.
Salah satu elemen kuat dari festival ini adalah keberadaan 12 food vendor Indonesia yang semuanya dikelola diaspora Indonesia di Melbourne. Setiap tenant tidak hanya menghadirkan makanan dengan cita rasa autentik, tetapi juga menggambarkan keberagaman budaya dari Sabang sampai Merauke. Misalnya, booth yang menyajikan papeda lengkap dengan kuah ikan kuning khas Papua berhasil menarik perhatian media lokal dan menjadi bahan pembicaraan di media sosial.
Di sisi lain, hadir pula booth yang menjual makanan khas Manado seperti rica-rica cakalang dan panada. Ini menjadi momen penting dalam memperluas eksposur kuliner Indonesia yang selama ini sering direduksi pada makanan Jawa dan Sumatera saja. Bahkan, salah satu pengunjung asal Melbourne yang sudah pernah ke Bali mengatakan bahwa ini adalah pertama kalinya ia mencicipi makanan dari Indonesia Timur—dan ia langsung jatuh cinta dengan rasa pedas dan segar dari rica-rica tersebut.
Tidak hanya soal makanan, festival ini juga menyajikan pertunjukan budaya, demo masak oleh chef diaspora, dan talkshow singkat mengenai perkembangan restoran Indonesia di Australia. Salah satu segmen yang menarik perhatian adalah demo memasak martabak oleh chef dari Martabak Pecenongan 78, yang menampilkan teknik lipat dan topping kekinian seperti keju-kacang dan coklat matcha yang menggabungkan budaya Indonesia dan Barat.
Kehadiran festival ini di Melbourne—kota yang dikenal sebagai salah satu destinasi kuliner top dunia—merupakan langkah strategis dalam memperluas pengaruh kuliner Indonesia secara global. Tidak heran jika momen ini digunakan juga sebagai ajang peluncuran database restoran Indonesia di Australia, sebagai bagian dari strategi pemasaran kuliner berkelanjutan.
Dalam pernyataannya, Menparekraf Sandiaga Uno menyampaikan pentingnya diplomasi kuliner sebagai jembatan hubungan antarbangsa. Ia menyebut bahwa makanan memiliki daya pengaruh emosional yang tinggi dan dapat menciptakan pengalaman mendalam bagi penikmatnya. Maka dari itu, Indonesian Street Food Festival bukan hanya ajang mengenalkan menu-menu Indonesia, tetapi juga menanamkan memori rasa dan pengalaman positif kepada para pengunjung mancanegara.
Sebelum menghadiri festival, Menparekraf juga menyempatkan diri mengunjungi beberapa restoran Indonesia di Lygon Street, Melbourne. Beberapa restoran yang disambanginya antara lain “Cinta”, yang menyajikan set menu lengkap khas Indonesia, “Kantin Indonesian Eatery” dengan spesialisasi makanan Manado, hingga “Beku Gelato” yang mempopulerkan rasa unik seperti Tolak Angin dan kopi Ijen ke dalam bentuk gelato. Ini menunjukkan bahwa kreativitas dan inovasi dalam menghadirkan cita rasa Indonesia mampu disesuaikan dengan preferensi pasar luar negeri tanpa kehilangan identitas aslinya.
Salah satu kekuatan utama dari festival ini adalah pendekatannya yang otentik namun profesional. Alih-alih sekadar menjual makanan, setiap elemen dalam festival ini dirancang untuk menyampaikan narasi budaya, sejarah, hingga nilai-nilai filosofis dari makanan Indonesia. Bahkan booth dekorasi pun dirancang menyerupai warung tenda di Tanah Abang, Lenggang Jakarta, hingga lapak kaki lima khas Malioboro, yang membangkitkan rasa nostalgia bagi WNI dan rasa penasaran bagi warga asing.
Dalam konteks promosi pariwisata, indonesia street food festival juga menjadi magnet yang mampu menarik minat wisatawan untuk berkunjung langsung ke Indonesia. Dengan mencicipi berbagai menu di Melbourne, para pengunjung seperti diberi teaser akan pengalaman kuliner yang lebih besar dan beragam di tempat asalnya. Maka dari itu, acara ini juga menyisipkan QR code dan leaflet digital yang menautkan informasi wisata kuliner dari berbagai daerah di Indonesia.
Inisiatif seperti ini menunjukkan bagaimana street food bisa dijadikan instrumen strategis dalam gastrodiplomasi. Tidak hanya mengenalkan produk, tetapi juga membuka peluang bisnis, memperkuat citra bangsa, dan membangun jejaring antara komunitas diaspora dengan pelaku industri pariwisata nasional.
Dengan demikian, indonesia street food festival tidak hanya menjadi pesta kuliner biasa, melainkan sebuah kampanye rasa yang membawa identitas bangsa ke panggung global. Ini adalah bukti nyata bahwa Indonesia punya potensi besar untuk bersaing di pasar internasional lewat kekuatan rasa dan cerita yang dimilikinya. Ke depan, diharapkan festival serupa juga bisa digelar di kota-kota lain di dunia—karena rasa Indonesia terlalu kaya untuk hanya dinikmati di dalam negeri.